AriReda Menyanyikan Puisi

Standard

AriRedaAwal perkenalan saya dengan AriReda motifnya adalah kerjaan. Redaktur Jurnal Nasional (Jurnas), Arie MP Tamba pada akhir November 2007 memilih musikalisasi puisi sebagai tema halaman Oase Budaya. Saya kedapatan untuk mewawancarai  Ari Malibu, Reda Gaudiamo, AGS Arya Dipayana dan Sapardi Djoko Damono melalui telepon.

Saat itu saya buta rasa soal musikalisasi puisi. Tahunya cuman deklamasi puisi.

Tapi sebagai reporter saya tidak bisa mewawancarai narasumber tanpa bekal. Jadi saya mencari tahu apa itu musikalisasi puisi. Maka bertemulah saya dengan suara bening perempuan yang bermain sempurna dalam petikan gitar.

Edan. Seketika itu juga saya memutuskan untuk jatuh cinta pada rasa musik yang ditawarkan keduanya.  Amunisi wawancara saya ketika itu bukan sekadar informasi tapi juga resapan rasa yang menancap permanen di telinga saya.

Dan semalam(27/1), berkat niat sahabat saya, Titing, untuk menukar tiket, saya berhasil duduk di barisan paling depan konser AriReda Menyanyikan Puisi.

Panggung di Teater Kecil Taman Ismail Marzuki (TIM), Cikini, malam itu hanya ada sebuah music stand, dua buah kursi, dua buah standing mik, dan dua buah gitar. Di belakangnya hanya ada lampu-lampu kecil merambat. Sederhana sekali.

Tetangga Pak Gesang

Tetangga Pak Gesang

Meski begitu saya sudah tak sabaran untuk membiarkan mereka berdua menyusupkan bait-bait puisi pada gelombang suara.

Konser AriReda dibuka oleh dua orang perempuan. Meicy Sitorus dan Arum Dayu, mereka menamai diri sebagai Tetangga Pak Gesang. Nuansa vintage kental terasa dari keduanya.  Meicy mengenakan baju terusan panjang putih. Sedangkan Arum menggunakan baju terusan selutut dengan motif bunga-bunga.

Meski hanya diiringi ukelele keduanya mampu menciptakan suasana akrab. Melihat mereka bernyanyi buat saya seperti mendengarkan dua sahabat perempuan yang bercerita riang. Sesekali Meicy meniupkan, kazoo, alat tiup sederhana yang baru kali itu saya lihat. Bunyinya seperti lebah tapi itu justru memberikan sentuhan unik pada hamonisasi nada yang dinyanyikan kedua perempuan berponi ini.

Tibalah giliran si pemilik panggung untuk tampil. Layar merah terbuka dan duduklah di sana, Ari dan Reda sambil melemparkan senyum ke penonton yang menduduki semua kursi. Ari Malibu mengenakan kemeja tie dye berwarna biru langit, bercelana jeans dan memangku gitar. Rambut keritingnya yang beruban berhasil ditutupi ketika lampu-lampu panggung menyorot lembut.

Duduk di sampingnya, perempuan berambut pendek, berkaca mata, berkalung bola-bola kayu. Kedua tangannya diletakkan di paha membuat saya mengamati kain khas Sumba yang membungkus sampai mata kaki.  Reda Gaudiamo. Ia sudah menjadi teman duet Ari selama 34 tahun!

Meski terbilang penyanyi “veteran” tapi penonton yang hadir sebagian besar masuk kategori “anak-anak” mereka.  Lirik puisi yang dinyanyikan pertama adalah Pada Suatu Pagi Hari karya Sapardi Djoko Damono. Ruangan langsung terasa tenang dan yang terdengar hanya suara bening Reda dan petikan gitar Ari.

AriReda

AriReda

Puisi pertama sukses membuai tapi raut wajah keduanya justru terlihat tegang.

“Aduh saya mulas,” ucap Reda sambil tertawa dan mengusap perutnya.

Reda lalu melirik Ari, “Masih tegang nggak ?”

Yang ditanya mengangguk sambil mengusap dada, mencoba tenang.

Penonton tertawa mengetahui pasangan yang sudah berjuta-juta kali menyanyikan puisi ini ternyata masih demam panggung juga.

Sambil mengatur posisi duduk, keduanya bersiap-siap menyanyikan puisi berikutnya, Kartu Pos Bergambar Jembatan Golden Gate San Fransisco. Penonton semakin terhanyut. Satu per satu puisi dinyanyikan dan penonton belum ikut bersenandung. Mereka masih menebus rindu pada paduan suara dan gitar AriReda.

Posisi duduk saya semakin condong ke depan. Rasanya bukan hanya telinga saya yang menangkap suara tapi kedua mata juga menghadirkan bait puisi itu dalam interpretasi yang nyata. Apalagi ketika AriReda menyanyikan lagunya yang kelima, Gadis Peminta-Minta.

Lampu panggung yang terang setiap kali Reda memberikan pengantar sambil menunggu Ari siap dengan gitarnya, berubah temaram. Petikan pertama Ari seolah menjinakkan sinar lampu menjadi temaram. Suasana panggung berubah menjadi syahdu.

Setiap kali bertemu, gadis kecil berkaleng kecil.
Senyummu terlalu kekal untuk kenal duka.

Tarikan napas halus yang dilakukan Reda membuat larik puisi itu seolah menghadirkan gadis kecil peminta-minta berdiri persis di depan saya. Ujung mata saya mulai berkabung air.

Tengadah padaku, pada bulan merah jambu.
Tapi kotaku jadi hilang, tanpa jiwa.

Tepat di bagian kotaku jadi hilang, tanpa jiwa, alunan nadanya mendatar tapi tangan saya bergetar. Puisi memang bisa begitu lembut menampar kesadaran.

Ini baru lagu kelima, bagaimana lagu-lagu selanjutnya? batin saya memelas pelan.

Berdasarkan pengalaman saya menonton AriReda, mereka bisa menyanyikan sampai 20 lagu dan malam itu adalah hari terakhir konser, jadi saya berdoa durasinya bisa lebih panjang dari sebelumnya.

Semakin larut suasana semakin menyatu. Reda sesekali bercerita tentang bagaimana mereka awalnya bernyanyi karena dipaksa oleh Ferrasta Soebardi atau yang lebih akrab dikenal sebagai pelawak Pepeng.

Kenapa dipaksa karena saat itu Pepeng menyuruh mereka ke ruang senat latihan bernyanyi untuk persiapan acara di kampus, esok harinya. “Lagu yang Ari tahu saya tidak tahu. Dan lagu yang saya tahu tidak mau dimainkan Ari karena nggak banget. Tapi emang nggak banget sih,” ucap Reda sambil tertawa.

Waktu itu mereka hanya menyanyikan dua lagu dan mengira semuanya tidak akan berlanjut. Tapi ternyata Ari dan Reda menemukan kecocokan. Harmonisasi suara dengan petikan gitar menjadikan keduanya bernyanyi sampai sekarang.

Rehat dilagu keduabelas, tirai merah menutup panggung. Sesaat kemudian tirai merah kembali menyeruak dan menghadirkan seorang laki-laki tua bertongkat sambil memegang dua buku. Penonton langsung bertepuk tangan, laki-laki itu Sapardi.

Puisi-puisi Sapardi sering kali dinyanyikan oleh AriReda. Salah satu yang paling terkenal adalah Aku Ingin. Puisi ini sering dijadikan lagu pengantar pengantin masuk pelaminan. Puisi ini juga sering tercetak di undangan pernikahan. Begini salah satu baitnya:

Aku ingin mencintaimu dengan sederhana
Dengan kata yang tak sempat diucapkan
Kayu kepada api yang menjadikannya abu 

Sapardi Djoko Damono

Sapardi Djoko Damono

Pilihan diksinya sederhana tapi mampu mencongkel bagian rasa terdalam. Karena itu saya membayangkan Sapardi adalah sosok yang serius. Tapi persepsi itu mulai tergerus ketika dia memelesetkan nama belakang Ari. “Malibu, sepuluhlibu.”

Wah dia lucu juga ternyata,” ucap saya kepada Nida yang duduk di samping kanan. Beberapa kali dia bergurau sampai tiba saatnya untuk membacakan salah satu puisinya.

Ruangan senyap membiarkan lelaki tua itu berjalan ke tengah panggung. Menggantungkan tongkat di kursi. Kembali berjalan ke kiri panggung dan mendekati mik, “Itu (tongkat) cuman properti.” Kesenyapan berganti dengan riuh tawa penonton. Ternyata Sapardi tak hanya cerdas memilih diksi untuk puisi tapi juga punya selera humor yang tinggi.

Usai membaca puisi, AriReda kembali menguasai panggung. Di sesi kedua ini ada satu puisi yang baru pertama kali saya dengar dinyanyikan AriReda. Tuhan Kita Begitu Dekat, itu judul puisinya. Melodinya sederhana tapi begitu Reda melantunkan bait pertamanya, saya merinding.
Tuhan
Kita begitu dekat
Sebagai api dengan panas
Aku panas dalam api-Mu

Susah sekali untuk menggambarkan apa yang saya rasakan ketika itu. Ada rasa kedekatan yang asing dari bait-bait yang dilagukan. Rasa kedekatan yang sepertinya sudah lama saya cari. Pelan-pelan saya memejamkan mata, coba mengulur makna dari setiap baris puisi yang dibuat oleh Abdul Hadi WM.

Tuhan
Kita begitu dekat
Seperti kain dengan kapas
Aku kapas dalam kain-Mu

Tuhan
Kita begitu dekat
Seperti angin dan arahnya

Kita begitu dekat
Dalam gelap
Kini aku nyala
Pada lampu pada-Mu

 

Reda menyanyikan kata-kata itu dengan getaran suara yang tipis di ujung larik. Selesai menyanyikan semua bait, petikan gitar kembali mengantar pada larik pertama. Kali ini Ari ikut menyanyikan. Suaranya yang lebih rendah membuat mata saya semakin larut dalam gelap.

Rasanya dekat sekali. Saya tidak pernah merasa sedekat itu kepada subjek yang dibicarakan dalam puisi. Air mata saya mengalir pelan tapi senyum saya terkembang.

Saya merasakan kedekatan yang asing. Kedekatan yang indah. Kedekatan yang sederhana antara Dia yang Maha dengan saya yang hina.

Jatuh cinta tidak pernah seasing ini. Tapi jatuh cinta juga tidak pernah sedekat ini. Saya bersyukur bisa memberikan hati dan pikiran dengan pemaknaan rasa sedalam ini.

AriReda dan Jubing Kristianto

AriReda dan Jubing Kristianto

Usai mengantarkan saya pada sensasi rasa yang asing itu, AriReda melantunkan puisi-puisi berikutnya. Sampai kemudian muncul Jubing Kristianto dengan gitar akustik melintang di dadanya. Penonton bereaksi penasaran seolah tak sabaran ingin membuka kotak pandora dari gitar yang dibawa Jubing.

Ketiganya kemudian melantunkan puisi Gadis Kecil. Sebagai gitaris, teknik finger style Jubing tidak pernah sederhana. Ia selalu bisa memasukkan banyak suasana pada pada setiap petikan gitarnya.

Benar saja di bagian akhir lagu, gitar Jubing dan Ari yang riuh berpadu sempurna pada tarikan suara Reda. Penonton seolah diajak untuk menaiki nada tertinggi yang akan disentuh Reda pada ujung lagu. Tak hanya saya yang terpesona dengan harmonisasi itu karena semua penonton bertepuk gembira, bahkan sedikit bersorak puas.

Setelah itu AriReda memasuki rehat kedua, dan Jubing pun mulai beraksi solo. Ia mengawalinya dengan Becak Fantasy lalu Bungong Jeumpa. Entah saya yang sok tahu atau pengaruh Linkin Park yang saya dengar sebelum berangkat menonton konser, tapi telinga ini menangkap ada nuansa musik metal pada saat Bungong Jeumpa yang dimainkan.

Jubing Kristianto

Jubing Kristianto

“Eh kok berasa dengerin Metallica ya?” saya meminta kepastian pada Nida.

“Iya,” jawab Nida cepat.

 

Malam itu Jubing digariskan hanya bermain dua lagu sendiri, tapi penonton minta ekstra. “Aduh boleh ngga nih?” tanya Jubing sambil melirik ke kanan panggung. Di sana Ari menjawab dengan kencang, “Boleh…boleh.”

“Apa ya, jadi saya yang ngga siap,” ucap Jubing sambil sedikit tertawa.

Hanya beberapa detik  raut wajahnya seolah berpikir, lalu jemarinya mulai lincah melompat-lompat di antara senar. Ayam Den Lapeh pun di mainkan. Saya dan penonton ikut berdendang, terutama dibagian ayam den lapeh ai…ai..

Selesai Jubing beraksi, AriReda kembali menguasai panggung. Menyanyikan sekitar dua buah lagu, tiba-tiba saja mereka berdua mengucapkan selamat malam dan layar merah tertutup. Sontak penonton beraksi. “Lagi..lagi…lagi.”

Penonton tak ada yang beranjak tapi raut wajah seolah bertanya-tanya, apa iya konsernya selesai begitu saja? Suara meminta AriReda kembali bernyanyi semakin tinggi. Mungkin suara-suara ini juga yang membuat tirai merah itu kembali terbuka dan diikuti dengan tepuk tangan puas penonton. Kami berhasil memaksa mereka untuk menambah durasi, padahal mereka sudah bernyanyi lebih dari 20 lagu.

AriReda pun mengeluarkan buku lagu yang lain. Mereka kembali menyanyikan puisi penonton semakin asik ikut bernyanyi. Lalu pada saat puisi Ketika Jari-Jari Bunga Terbuka dilagukan, jemari Reda ikut bermain menggambarkan bunga yang sedang mekar.

Ini adalah bahasa tubuh yang paling ekspresif yang saya tangkap. Karena di lagu-lagu sebelumnya, Reda hanya sesekali mengetuk-ngetuk jarinya di atas lutut, seolah menekan tuts piano. Kadang ia mengepalkan tangan kanannya dengan pelan di atas lutut, seperti menggenggam makna dari setiap kata juga nada.

Penonton pun semakin berani untuk bernyanyi. Apalagi ketika Reda bertanya puisi apa yang akan dinyanyikan berikutnya. “Lagu wajib…lagu wajib, Aku Ingin.” Keduanya hanya tersenyum.

“Lagu berikutnya Selembar Daun.”

Lalu salah seorang penonton bersuara lantang, “Ya ngga hapal.” 

AriReda pun tertawa geli. “Tapi yang sebelah sini hapal,” ucap Reda sambil menunjuk penonton di sisi kanan. Meski begitu suara penonton yang mengiringi AriReda bernyanyi Selembar Daun tetap terdengar.

Lalu tibalah lagu wajib dinyanyikan. Ketika Ari mulai memetik intronya, penonton mulai mengatur suara seolah tak sabaran ingin diiringi langsung dengaannya. Semua penonton pun mengambil peran menjadi Reda. Bernyanyi halus dengan lekukan nada yang pas demi menghadirkan makna mencintai dengan sederhana.

Konser pun berakhir dengan sempurna. AriReda berhasil menyanyikan 27 puisi! Saya pulang dengan mata yang berbinar-binar dan rona pipi merah merona. Malam itu mata saya tidak bisa langsung terpejam. Begitu banyak kata indah menggelayut di batin saya.

Puisi memang bukan hanya barisan kata yang bermakna. Tapi puisi juga salur imajinasi yang menghidupi jiwa. Dan untuk semua kekayaan batin yang ditangkap seluruh pancaindera, saya berterima kasih kepada AriReda untuk keindahan yang diberikan dalam kesederhanaan.

 

 

Leave a comment