Mencari Isteri Lot

Standard

Tetapi isteri Lot, yang berjalan mengikutinya, menoleh ke belakang, lalu menjadi tiang garam.
Kejadian 19:26

Beberapa waktu lalu, saya tergoda untuk membeli Majalah Tempo yang membahas mengenai Ahmadiyah. Dan Majalah Tempo, tak akan menjadi Majalah Tempo, jika tanpa Catatan Pinggir, Goenawan Mohamad (GM). Di edisi itu, GM menulis tentang Tuhan dan kekerasan dengan menyelipkan sedikit cerita tentang isteri Lot. Ada bagian yang menarik perhatian saya, yaitu seorang penyair yang bernama Anna Akhmatova yang justru menggambarkan isteri Lot bertolak belakang dengan persepsi yang coba dibangun dalam Alkitab dalam cerita Sodom dan Gomora.

Terus terang, saya tidak suka dengan cerita hukum menghukum dalam Alkitab. Saya tidak suka cerita Tuhan digambarkan sebagai pengatur kehidupan yang galak. Karena itu, ketika saya mendengar cerita Sodom dan Gomora di Gereja, saya gelisah. Saya mencari angle mana yang bisa membuat saya sedikit melihat Tuhan yang baik dari cerita itu. Dan yang saya dapat adalah, Tuhan itu bisa diajak bernegosiasi. Dia tidak kaku, asal kita tahu cara berdiplomasi dengan dia. Bagaimana saya sampai pada kesimpulan itu?

Adalah pada bagian saat Abraham, paman Lot, tawar menawar dengan Tuhan. Ceritanya Tuhan yang marah, tak mau pandang bulu, semua orang di Sodom harus dibumi hanguskan dengan bola-bola api dari langit. Abraham ceritanya merayu Tuhan. Dari yang semua orang Sodom mau dihukum sama rata, akhirnya Tuhan mau menyelamatkan orang yang benar biar tidak kena murka Dia. Semenjak itu, saya percaya, Tuhan itu bisa dirayu kok, asal kita ngerti aja cara ngomongnya. Mungkin bisa meminjam cara Abraham, “Sesungguhnya aku telah memberanikan diri berbicara kepada Tuhan, walaupun aku debu dan abu.”

Tapi karena tulisan GM itu, saya jadi bertanya, “Iya..ya, siapakah sebenarnya isterinya Lot? Apa benar, dia sebegitu gila hartanya sampai menengok ke belakang dan rela jadi tiang garam.” Kenapa gila harta? Karena ketika pendeta atau kakak sekolah minggu saya cerita soal isteri Lot, pasti yang ditekankan adalah, “Isteri Lot, terlalu mencintai harta duniawi. Dia tidak bisa melepaskan kedagingannya, maka jadilah dia tiang garam.”

Lalu mulailah saya mencari isteri Lot. Hasilnya, tak banyak lembaran yang menyantumkan cerita tentang isteri Lot. Bahkan sebuah sumber memperkirakan namanya adalah Idis yang dibaca EE-dis. Saya dapat infonya dari sini.

Saya tentu kecewa, karena Alkitab juga seolah mempersepsikan isteri Lot sebagai cewe matre yang ngga harus banyak diceritain. Bahkan efektif dijadikan cara untuk nakut-nakutin. Gimana nakut-nakutinya, di Lukas 17:32, digambarkan apabila ketika Mesias itu datang kita masih mikirin harta benda kita maka, “Ingatlah akan isteri Lot!” Ah ini kasar sekali menurut saya. Betapa jauh jarak kejadian antara Sodom dan Gomora dengan masa Lukas itu, tapi tetap aja yang diingat adalah bagaimana dari sebuah tolehan ke belakang, bisa membuku hitamkan karakter seseorang.

Dan si penyair Anna Akhmatova yang diceritakan GM, coba menjawab kegelisahan saya dengan menuliskan puisi tentang mengapa sebenarnya Idis menoleh ke belakangan. Saya ambil dari sini

Lot’s Wife   by Anna Akhmatova
translated by Max Hayward and Stanley Kunitz

And the just man trailed God’s shining agent,
over a black mountain, in his giant track,
while a restless voice kept harrying his woman:
“It’s not too late, you can still look back

at the red towers of your native Sodom,
the square where once you sang, the spinning-shed,
at the empty windows set in the tall house
where sons and daughters blessed your marriage-bed.”

A single glance: a sudden dart of pain
stitching her eyes before she made a sound . . .
Her body flaked into transparent salt,
and her swift legs rooted to the ground.

Who will grieve for this woman? Does she not seem
too insignificant for our concern?
Yet in my heart I never will deny her,
who suffered death because she chose to turn.

Bahwa pilihan Idis untuk menoleh ke belakang karena dia ingin mengenang sedikit saja kebahagiaan yang selalu mengisi hari-harinya. Dia lahir dan melahirkan 2 anak perempuan di tanah yang kemudian kata Tuhan, tanah bercela. Bukan cela yang dia ingat, tapi kebahagiaan yang pernah dia rasakan. Dan kesadaran untuk mengingat itu sebentar saja harus dibayar dengan menjadi tiang garam.

Saya tidak menangkap kesan hiroik dalam cerita ini, dan sepertinya bukan itu juga yang dikejar Idis. Dia bukan mati martir, itu kenapa Alkitab tak banyak bercerita tentang dia. Mungkin, Lot beserta dua anak perempuannya juga sedikit malu untuk bercerita tentang perempuan yang pernah mengenalkan salah satu fragmen kebahagiaan ketika mereka hidup di Sodom. Bisa jadi, secara psikologis, Lot dan kedua anak perempuannya merasa keselamatan adalah harga yang cukup mahal. Dan melihat isteri serta ibunya menjadi tiang garam, sepertinya cukup efektif untuk ‘menakut-nakuti’ mereka agar tetap setia pada Tuhan.

Ah saya tak suka Tuhan yang pemarah. Tuhan yang berideologi mata dibayar mata ala Hammurabi. Sama seperti tidak sukanya saya pada pola cerita kitab suci yang sering kali membuat perempuan sebagai sahabat Tuhan tapi tak pernah jadi teman baik agama. Agama dengan cerita sucinya memang terlalu berbau laki-laki, karena dulu yang berdiskusi tentang Tuhan dan agama adalah laki-laki. Jadi diskursusnya terlalu maskulin.

Dan kini saya kembali gelisah setiap mendengar cerita Sodom dan Gomora, karena ada Idis yang berdiri sebagai penegasan cerita. Bahwa janganlah seperti dia yang menoleh ke belakang demi harta benda. Ah bagaimana kalau dia menengok ke belakang bukan karena harta benda. Bukankah kita sering melakukan perenungan dengan memutar ulang di mana letak kesalahan kita untuk kemudian memperbaikinya. Artinya, tak semua penolehan ke belakang berarti kesia-siaan.

Bahkan Lot yang dalam nalar kepanikannya, sempat berpikir untuk menyerahkan anak perempuannya yang masih perawan itu kepada segerombolan laki-laki yang menghampiri rumahnya dengan amarah karena mengetahui ada orang asing datang bertandang ke rumahnya. “Kamu tahu, aku mempunyai dua orang anak perempuan yang belum pernah dijamah laki-laki, baiklah mereka kubawa ke luar kepadamu. Perbuatlah kepada mereka seperti yang kau pandang baik,” Kejadian 19:8.

Orang asing itu belakangan diketahui adalah malaikat yang memberitahu keluarga Lot untuk segera pergi dari rumahnya. Dan orang-orang di sekitar rumah Lot merasa orang asing itu akan menghakimi kebiasaan mereka yang diceritakan penuh dengan percabulan, bahkan percintaan sesama jenis. Mereka pun berpikir, malaikat yang berjenis kelamin laki-laki itu harus dianiaya dengan disetubuhi.

Mengapa ada pengecualian untuk Lot yang berpikir singkat, tapi tak ada pengertian untuk Idis yang menoleh ke belakang.Sepertinya saya akan seperti Anna Akhmatova dalam mempersepsikan Idis. Dia bukan sekadar perempuan yang kebetulan diperisteri Lot yang namanya tak penting untuk dituliskan. Dia adalah Idis yang punya kesadaran penuh atas pilihannya dan bertanggung jawab untuk setiap konsekuensi yang akan dihadapinya. Ketimbang pura-pura taat demi memperpanjang nyawa.

 

Lot’s Wife
by Anna Akhmatova
translated by Max Hayward and Stanley Kunitz
And the just man trailed God's shining agent,
over a black mountain, in his giant track,
while a restless voice kept harrying his woman:
"It's not too late, you can still look back

at the red towers of your native Sodom,
the square where once you sang, the spinning-shed,
at the empty windows set in the tall house
where sons and daughters blessed your marriage-bed."

A single glance: a sudden dart of pain
stitching her eyes before she made a sound . . .
Her body flaked into transparent salt,
and her swift legs rooted to the ground.

Who will grieve for this woman? Does she not seem
too insignificant for our concern?
Yet in my heart I never will deny her,
who suffered death because she chose to turn.

2 responses »

Leave a reply to marfa Cancel reply