Category Archives: Motivasi

Seni Merangkai Keindahan Dari Ketidaksempurnaan

Standard
IMG_20150531_141629

Nida dan rangkaian bunga cantiknya

Sahabat kesayangan saya, Nida cerita kalau dia sedang ikut workshop Ikebana. “Apan tuh?” tanya saya penasaran. “Ikebana itu seni merangkai bunga dari Jepang. Aku ngga mau ngelewatin kelasnya sekali pun juga, karena workshopnya cuman setahun sekali dan aku udah dari lama mau ikut ini. ”

Nida ini orangnya super kreatif jadi saya ngga kaget mendengar dia begitu antusias mengikuti workshop Ikebana itu. Lalu kemarin dijadwal kencan kami, di depan berpiring-piring olahan sushi yang berseliweran (maklum duduknya di sushi bar jadi piringnya banyak hihihi), saya bertanya apa saja yang sudah dia pelajari dari kelas merangkai bunga ala Jepang itu. “Ikebana itu ternyata merangkai bunga dengan nilai filosofi yang tinggi!” Saya menoleh ke Nida memberhentikan ritual makan sushi saya.

Dengan tangan yang bergerak lincah, selincah bibirnya yang bercerita tentang ikebana dia berhasil membuat saya tertarik pada hal yang sedang ditekuninya belakangan ini. Kata Nida, ikebana tidak seperti merangkai bunga ala orang-orang Barat yang mengumpulkan material dari bunga-bunga yang indah. “Pasti ada satu atau dua material kering atau rusak dimasukkan untuk memperindah rangkaian bunga.” Bukan cuman itu, bahkan kata Nida susunan tinggi atau rendahnya bunga dan daun itu juga ada aturannya karena setiap materi yang dirangkaikan merepresentasikan Sang Pemilik Kehidupan dan manusia.

Read the rest of this entry

Mendefinisikan Kepuasan Diri

Standard

writing-sampleSiapa yang bilang dengkuran suami yang naik-turun akan pas jika disandingkan dengan suara Celine Dion yang menyanyikan lagu Don’t Save It All For Christmas Day. Iya Natal memang masih sangat jauh, disaat para sahabat Muslim tengah jatuh cinta dengan Ramadan, saya sangat merindukan malam Natal.

Sebenarnya ketika kerinduan akan Natal sedang menelusup masuk pori-pori kesadaran, itu berarti saya sedang galau. Iya galau, kondisi di mana kita sedang bingung atas apa yang terjadi. Ini bukan ‘penyakit’ orang jatuh cinta saja tapi juga perempuan berusia 30an, bersuami, dan memiliki karir yang bagus pun tidak bisa menyelematkan diri dari ‘penyakit’ yang satu ini.

Bagaimana saya tidak galau, kalau yang saya pikirkan adalah resign. Saya sangat ingin resign bukan karena teman-teman kantor saya ngga asik atau karena pekerjaan saya kurang menantang. Saya memilih resign karena saya ingin hidup dalam mimpi saya. Saya mau jadi penulis.

Read the rest of this entry

Berkompetisilah dengan Cinta, Sayang

Standard

Pernah kepikiran bagaimana cara mengajarkan kompetisi sehat pada anak-anak atau keponakan kalian kelak? Sebagai orang yang mencintai anak-anak, saya mulai mencari info mengenai cara mendidik atau mengajarkan anak akan banyak hal, mulai dari cinta, seks, identitas diri, kebebasan, sampai Tuhan. Ngapain cari info itu dari sekarang? Alasannya sederhana, karena saya pelan-pelan dipengaruhi oleh seminar-seminar soal membentuk karakter anak yang sering saya datangi dengan alasan liputan.

Tapi dari segala info yang kemudian berubah menjadi bekal saya untuk membentuk karakter anak itu, jarang yang membicarakan bagaimana caranya mengenalkan kompetisi bagi anak-anak. Karena suka atau ngga, salah satu cerita hidup yang bakal sering kita hadapin ya itu soal kompetisi. Dan memberikan konsep kompetisi yang ideal bagi anak, menurut saya luar biasa susah dari mengenalkan konsep Tuhan. Karena kompetisi bersinggungan dengan ambisi yang kadang kala berarsiran dengan mimpi. Dan saya, sebagai orang yang percaya merealisasikan mimpi adalah keindahan hidup, rada bingung juga untuk menyemangati mereka punya energi penuh untuk bermimpi tapi tanpa menjadi budak ambisi.

Sampai kemudian saya bertemu dengan acara Junior MasterChef Australia. Ini adalah acara mencari juru masak anak-anak di Australia, melibatkan 50 orang anak berbakat yang kemudian disaring jadi 12 finalis. Meski usia mereka 8-12 tahun, menu-menu masakan yang dikompetisikan bukan menu yang sederhana. Bahkan beberapa anak cukup berani untuk membuat sajian makanan yang nyebutin nama masakannya aja lidah udah blepotan ke mana-mana.

Dan hebatnya, juri-juri yang memberikan mereka penilaian tak sekadar memuji atau mengkritik sajian yang mereka buat, tapi terus membangun suasana untuk menikmati proses masaknya ketimbang scoring-nya. Mereka punya tagline, Not scoring but cooking and that’s what is all about.  Anak-anak ini tetap diperkenalkan dengan dunia kompetisi, melakukan apa yang diperintahkan juri, ada batas waktu masaknya, dan ada penilaian kreativitasnya. Ada target yang harus dicapai. Tapi mereka juga diminta untuk tidak melupakan nikmatnya memasak, ini dilakukan dengan membiarkan anak-anak itu tetap menjadi lugu. Menjadi anak-anak, bukan menjadi tiruannya orang dewasa.

Saya masih sangat terharu ketika berkali-kali melihat bagaimana 2 finalis Isabella dan Jack, bisa saling menepuk pundak atau bahkan memberikan pelukan satu sama lain ketika juri menyebutkan score-nya. Bahkan ketika Isabella terpilih menjadi Junior MasterChef Australia, Jack bilang, “Friend going in and friend going out, nothing gonna change,” untuk menjawab pertanyaan juri soal perasaan dia mengenai kemenangan Isabella.  Ah ini emang ucapan dari seorang pemenang.

Lalu saya pun membandingkan dengan acara kompetisi anak-anak lokal yang betebaran di televisi-televisi nasional. Saya ingat, ada pernah pada salah satu kompetisi pencarian bakat itu, si anak langsung pingsan ketika juri memberi tahu dia tidak lolos babak penyisihan. Atau betapa kita selalu melihat anak-anak yang tereliminasi harus menangis sesenggukan karena dia harus pulang dan berhenti tereksploitasi. Iya eksploitasi, karena mereka pun diminta bergaya seperti orang dewasa dan menyanyikan lagu orang dewasa (untuk yang kompetisi nyanyi, ya kebanyakan kompetisi cari bakat emang nyanyi sih).

Atau kalau mau bicara lebih serius, iklan-iklan yang mensponsori mereka juga termasuk produk yang bukan untuk anak-anak sebenarnya, mie instan contohnya. Iya saya tahu mengangkat fakta ini sama juga seperti mengangkat produk rokok sebagai sponsor pertandingan sepakbola yang kemudian akan menjebak kita dalam labirin, “Dari pada kaga ada yang sponsorin?”

Tapi ya itu, televisi kita lebih sering mengambil sisi eksploitasi dalam setiap acaranya. Sehingga dalam acara kompetisi pun yang ditekankan adalah adegan nangis-nangisnya ketika tereliminasi, bukan bagaimana anak-anak itu tetap semangat meski harus berhenti berkompetisi. Saya ingat, masih dari Junior MasterChef Australia, salah satu anak yang pulang dengan lantang bilang, “I’ll never stop cooking. This will not stop me to be a master chef,” lengkap tanpa adegan sesenggukan dan dikerubungin teman-temannya.

Bukan, bukan saya ngga suka ngeliat anak nangis. Tapi ini lebih kepada, bagaimana tim kreatif dan juri dari kompetisi pencarian bakat juru masak cilik ini sangat berhasil membentuk pesan dalam kepala anak-anak, bahwa skor itu ngga penting. Yang penting adalah bagaimana kalian mencintai proses menjadi juru masak. Pesannya kuat, bahwa target bukan hanya menjadi juara. Dan kalau pun jadi juara ya itu bonus. Seperti yang dibilang Isabella, bahwa dia merasa puas karena telah berhasil menggenapi setiap tantangan yang diberikan dan dia akan tetap mengagumi ibunya yang berdarah Itali yang selalu mengenalkan dia akan resep-resep asli  Itali.

Lalu setelah berhasil menjadi pemenang, keduanya juga membuat buku mengenai menjadi junior master chef. Dan sama-sama menjadi pembawa acara masak-memasak di Australia. Keduanya diberi peluang yang sama untuk terus mengembangkan bakatnya. Ngga seperti kompetisi cari bakat di Indonesia yang hanya akan abis-abisan memopulerkan pemenang 1.  Padahal kalau mau dihitung-hitung dari polling SMS dan iklan, perusahaan televisi yang menyelenggarakan ajang kompetisi cari bakat itu sudah balik modal dengan cepat. Itu kenapa ajang cari bakat terus dibuat, walaupun kemudian ngga ngerti juga apa yang dilakuka para finalisnya setelah muncul gelombang baru.

Dan melalui acara ini, saya belajar bahwa kompetisi itu masalah menikmati proses, Coz is not about scoring. Jadi, berkompetisilah dengan cinta, sayang. Yuk kita tonton bagaimana Isabella dan Jack bisa punya hati besar untuk menyemangati temannya menikmati proses berkompetisi. Oiya, saran saya, siapin tisu karena beneran deh ini anak-anak sikapnya sangat membuat kita terharu.

PS : Ayo jadi siapa yang mau jujur ngaku matanya berkaca-kaca ngeliat dua anak itu ‘berpidato’ mengenai kemenangan?

Sad? Maybe You Need to Pray?

Standard

Tenang-tenang ngga usah panik baca judul itu, saya ngga sereligius judul itu kok 😀

Jadi begini keadaannya, saya menemukan judul itu saat tengah mencari tulisan tentang kesehatan di http://www.shine.yahoo.com. Tapi judul aslinya, “Angry? Maybe You Need to Pray.” Saya pun spontan tertawa dan melupakan rasa sedih saya. Sedih?

Jadi, sebelum saya menemukan judul artikel itu, saya baru saja menerima satu email yang sedang saya tunggu-tunggu. Email pengumuman beasiswa, dan mereka mengumumkan kalau saya tidak memenuhi kriteria. Alasannya, dari 5 poin penilaian yang mereka punya, saya gagal di 1 poin. Tapi mereka tidak menyebutkan secara spesifik poin gagal itu apa. Sepertinya poin itu adalah saya kurang beruntung 😀

Saat membaca email itu, saya tengah duduk di aula kantor dengan menyandang jabatan baru. Iya saya 2 minggu lalu ditelepon oleh HRD. “Priska, kamu mau kita mutasi ke Panjang (baca : Kantor Pusat) dan diberi posisi Content strategic assistant manager.”

Terdengar keren ya posisinya. Apa kerjanya, jangan tanya saya karena bos saya yang super funky itu, sibuk sekali sehari kemarin, jadi saya dibiarkan menulis sesuka hati saya. “Lu santai dulu lah, gua repot banget hari ini,” ucapnya sambil menepuk-nepuk pundak saya.

Yang saya tahu, pekerjaan saya adalah memonitoring, apakah content-content dari semua website yang dimiliki kantor saya itu sudah sesuai karakteristik majalahnya atau tidak. Dan saya juga harus memberikan ide, content apa yang bisa buat website-website itu rame.

Yup dihari saya sedang meraba jabatan baru itulah, saya dapat pengumuman gagal mendapat beasiswa. Rasanya, sedih sudah pasti. Tapi entah kenapa saya menakar level sedihnya sedikit.

Dan saya pun mengirimkan pesan melalui teknologi SMS ke kedua orang tua saya. Sekadar menginformasikan saja dan berterima kasih karena selama ini saya sudah dimotivasi. Pada saat mengirim SMS inilah saya menemukan judul artikel itu, “Angry? Maybe You Need to Pray.” Ya seperti yang saya bilang di awal, saya pun tertawa geli. Karena ya bisa dibilang, hubungan saya dengan Pengatur Cerita ya begitu. Kadang marahan, bisa jadi akrab banget, atau malah sama-sama sedih. Persis seperti hari kemarin, diwaktu bersamaan saya lagi bahagia karena dapat tantangan baru, ya saya dibikin sedih juga. God love me so much I guess, karena Dia suka menggoda saya.

Dan saat saya sedang mengingat hubungan pertemanan saya dengan Tuhan, mama saya telepon. Dia coba menyemangati saya, “Jangan sedih ya ‘Dek, pasti ada peristiwa luar biasa setelah ini. Kamu semangat terus ya.” Ah mama saya, kata-katanya sederhana tapi sangat efektif membuat air mata saya berlinang. Saya jawab dengan cepat, “Iya, Ma.” Maksudnya biar ngga jatuh beneran nih air mata. Repot aja nangis di kantor.

Tidak lama setelah menerima telepon dari mama saya, SMS dari bapa saya pun masuk. Dia bercerita soal om saya (om dari keluarga jauh) yang menurut kebanyakan orang dia gagal, tapi dia menyakini dirinya berhasil dan terus semangat menjalani apa yang dia yakinin. Dan lagi-lagi saya berlinang, saya pun membalas dengan singkat. Masih sama, tujuannya biar tidak berurai air mata. Saat sedang menahan air mata yang hampir jatuh, winamp saya pas memainkan lagu Alanis Morrissette, In Praise of Vulnerable Man. Iya hidup yang pas-pasan emang, pas lagi down pas disemangati lagu. Yah seperti yang dibilang Paulo Coelho, “When you want something, all the universe conspires in helping you to achieve it.” The universe conspire to get me out from my sadness.

Dan tahu apa yang terjadi saat saya sampai di rumah? Mama saya coba menyambut saya sambil meletakkan kedua telunjuknya dikedua pipinya, sambil bernyanyi-nyanyi. “Ayo jangan sedih. Ayo semangat lagi.” Centil sekali, persis saya kalau lagi menggoda dia hahaha. Saya pun dipeluk dan ya bisa nahan nangis sih.

Saat meletakkan tas dan cuci kaki, saya berpikir, “Ah nangis aja udah,biar puas. Ngapain ditahan-tahan.” Saya pun kembali ke mama saya sambil bilang, “Ah gua nangis aja ah…biar puas,” sambil memeluk perempuan yang lebih sering memanggil saya ade itu karena dia tidak punya ade perempuan. Dan kita pun nangis bersama hahaha..iya dia tahu betul betapa saya ingin sekali dapat beasiswa ini. Program studinya saya suka, well bisa sejalan dengan skripsi saya yang berbicara mengenai kerukunan umat beragama.

Yah begitulah, belum waktu saya sepertinya. Tapi saya ngga akan menyerah, terlalu sederhana kalau hidup isinya cuman menyerah. Saya pun sadar, kalau amunisi semilyar semangat yang saya punya, itu datangnya dari mama dan bapa saya. Mereka selalu percaya dengan setiap mimpi anak-anaknya. Mereka semangati dan mereka bawa dalam doa. Dan ketika realita berkata lain, pesan mereka hanya satu, “Terus semangat ya. Jangan takut untuk mencoba lagi.” Ya, when you angry or sad…go hug your mom or dad…their warm hugs will be the fire in your heart and boots your confident to embrace this beautiful life. Dan sebagai penutup, mari kita nikmati ‘wejangan’ jeng Alanis 😀

in praise of the vulnerable man

ps : Makasih untuk Miss Ika cantik yang memberi saya lagu ini beberapa waktu lalu….peluk beruang 😀

Pelukan Hangat untuk Gadis Pendiam

Standard

Selalu menarik bagaimana waktu mengantarkan kita pada realitas baru. Penuh misteri tapi sangat menyenangkan.

Awalnya saya berkenalan tidak sengaja dengan dia, panggil saja dia Gadis Pendiam. Perkenalannya sedikit dibumbui rasa kuatir, karena seseorang yang pernah begitu dekat di hati saya, tiba-tiba menghilang. Saya panik dan teringat bahwa dia punya agenda untuk bertemu Gadis Pendiam ini.

Tidak tahu bagaimana harus menyapanya, saya justru bertanya padanya apakah Gadis Pendiam jadi bertemu dengan dia. Ternyata in the last minute, dia membatalkan dan saya harus melangkahkan kaki menuju rumah tanpa jawaban yang jelas.

Perkenalan yang aneh memang, jadi tak heran jika kami berhenti mengirimkan SMS ketika itu. Sampai tiba-tiba, Gadis Pendiam mengirimkan SMS bercerita kisah cinta yang berakhir getir telah menimpanya. Saat saya membaca itu, ingin sekali memeluknya. Setidaknya itu yang saya inginkan ketika patah hati menghampiri. Dan saya, mendapatkan banyak sekali pelukan. Sahabat adalah sumber pelukan terhangat, setelah keluarga.

Dalam SMS-nya, Gadis Pendiam coba terdengar kuat walaupun hati terobek begitu dalam. Ah patah hati memang masa kegelapan yang menyesakkan, seribu topan badailah buat bab kurang ajar itu 😀

Saya coba menawarkan semangat, berbagai pikiran positif saya bagikan untuk menyatukan kepingan dirinya yang terburai. Bahkan kalau saja malam itu saya tidak harus ke luar kota dan dia berada di Jakarta, saya mau bertemu dia sekadar mendengarkan apa yang terjadi, walaupun saya belum pernah melihat wajahnya. Entahlah saya terlalu sensitif ketika mendengar orang lain bersedih. Apalagi ketika mengetahui Gadis Pendiam memiliki sumber masalah yang sama, rasa senasib dan sepenanggungan itu muncul hahahahah…psikologis memang lebih kental dari logika kadang.

Saya berdoa untuk Gadis Pendiam, saya percaya ada hal indah akan menghampirinya setelah ini. Walaupun memang terminologi sakit dahulu untuk kemudian bersenang-senang, bukanlah hal yang mudah untuk dijalani tapi begitulah hidup terlalu sulit diatur agar berjalan sesuai kehendak kita (baca: terjadi sesuai harapan).

Saya panggil Gadis Pendiam sayang, seperti saya memanggil sahabat-sahabat saya. Saya selipkan kata I love you kepada Gadis Pendiam, seperti ketika saya mengekspresikan keberuntungan saya untuk memiliki sahabat-sahabat yang luar biasa. Walaupun saya sempat berpikir, jangan-jangan ekspresi manis ini akan membuat dia kembali sedih mengingat segala cinta yang terhianati.

Mudah-mudahan tidak, toh panggilan sayang tak hanya dibuat untuk memanggil pacar kita saja kan? Dan ucapan I love you juga bukan hanya layak disampaikan pada kekasih hati saja. Saya percaya pada dasarnya, orang suka mendapatkan ekspresi kasih sayang dan panggilan serta ucapan I love you adalah simbol kasih sayang yang mudah dipahami siapa saja.

Saya hanya ingin membagikan energi, yang pernah saya terima dan kemudian membangkitkan saya dengan cepat. Saya hanya berharap Gadis Pendiam, perlahan menyadari bahwa tidak ada yang salah dengan ketulusan cinta dan pengkhianatan bukanlah cara yang tepat untuk menghargai cinta. Berhentilah melukai hati dengan berpikir bahwa seharusnya kita mengubah keadaan untuk kenangan yang sudah terbangun. Karena sebenarnya dalam pengkhianatan selalu saja ada orang yang tak bisa menghadapi kenyataan dengan berani, itu mengapa mereka akan berlari untuk menemukan realitas baru yang singkat. Dan orang itu bukanlah kita. Bahwa setiap usaha dan rasa yang kita beri kemudian dihempaskan dalam ketakutan yang dijadikan pembenaran, maka bukan kita yang kehilangan nyali untuk menikmati cinta dengan utuh.

Jadi, biarkanlah dia menelusuk masuk pada kesemtaraan rasa yang penuh pijakan awal yang kasar. Dan hapuslah rasa dendam itu dari dalam hati serta pikiran, karena seharusnya dialah yang menyimpan rasa bersalah hingga ke sumsum tulang. Tentulah itu lebih menyakitkan dari kepahitan hati yang kita rasakan sebagai efek pengkhianatan. Yakinlah setiap kebenaran akan bertemu pintu kebahagiaan. Setiap ketulusan akan berarsir dengan kesempurnaan menghargai hidup.

Cepat bangkit ya Gadis Pendiam, ada banyak kegembiraan menanti. Raih tanganku dan mari menuju hari baru yang lebih baik. Percayalah, hari esok akan menyambut dirimu dengan matahari yang bersahabat, awan yang melindungi, dan angin yang menentramkan. I’ll do my best to get you there.

Sebuah pelukan hangat dan senyuman manis dari kupu-kupu liar yang merasa beruntung bertemu dengan Gadis Pendiam. Bahwa realitas mempertemukan kita dengan cara yang unik, biarkanlah toh hidup memang terlalu luar biasa untuk sekadar diisi dengan sesuatu yang datar.

Selamat menjadi lebih kuat Gadis Pendiam. Sebab ada yang bilang, sesuatu yang hampir saja membunuh kesadaran kita adalah sesuatu yang justru menguatkan. Jadi tersenyumlah dan bersiaplah untuk cinta yang lebih berani. I love you Gadis Pendiam 😀